Minggu, 16 November 2008

riset radio

[kembali ke halaman muka <http://www.unesco.or.id/localrad/>]

RADIO

/Buruk Radio Riset Dibelah
Bagaimana bila pengelola radio diibaratkan seperti pilot yang sedang
melintasi badai?
/
Oleh YUNITA MANDOLANG

/BBC World Service / membentuk departemen riset khalayaknya secara resmi
tahun 1936, 12 tahun sejak lembaga penyiaran publik itu berdiri. Riset
khalayak dipercaya sebagai sumber informasi untuk melayani pendengar
yang terus berkembang. Informasi itu juga membantu pihak manajemen
mengalokasikan sumber dayanya dengan lebih baik lagi dalam melayani publik.

Di Amerika, sejak awal kelahirannya, radio (juga televisi) dikelola
secara komersial. Seluruh riset khalayak didasarkan pada prinsip
pemasaran. Dasar pikirannya, orang akan tertarik mendengar radio apabila
mereka bisa memperoleh program yang mereka inginkan. Ini bisa didapat
dari riset khalayak.

Di Indonesia, kegiatan meriset khalayak sudah lama diperdebatkan di
kalangan pebisnis radio. Utamanya sejak tahun 80-an dan semakin mendapat
perhatian segera setelah Survey Riset Indonesia mengeluarkan hasil
risetnya. Sebagian merasa, riset khalayak itu penting dan karenanya
sudah dicoba untuk dijalankan, sebagian lagi berpura-pura menganggapnya
penting. Mereka enggan melakukannya dengan alasan tidak ada waktu, tidak
ada sumber daya manusia yang memadai, tidak cukup uang dan sederet
alasan lainnya. Perdebatan berlanjut pada cara memandang hasil riset.
Ada yang beranggapan, riset itu momok, yang mampu membunuh bila hasilnya
tidak sesuai harapan. Banyak juga yang menganggap riset tak dapat
dipercaya. Buruk rupa cermin dibelah.

Dampaknya, antara lain, kurang pahamnya pengelola radio Indonesia
menentukan / prime time/-nya. Achjuman A. Achjadi, / managing director/
Starcom, sebuah perusahaan periklanan Jakarta, dalam sebuah seminar yang
diselenggarakan Unesco, Oktober dan November lalu, mengatakan, radio
Surabaya kebanyakan menentukan / prime time/ pukul 06.00 - 10.00 dan
16.00 - 20.00. Padahal, kalau dibandingkan dengan perhitungan Nielsen
Media Research, penentuan itu tidak cocok. Pada beberapa radio,
pendengar terbanyak justru pada pukul 21.00 – 24.00. "Bagaimana sih
radio menentukan harganya?" Achjadi bertanya.

Errol Jonathans menuturkan pengalamannya selama 20 tahun mengelola radio
/ Suara Surabaya FM 100.55/. Katanya, kegiatan riset khalayak radio
selalu disambut pro-kontra dengan riuh rendah; apapun hasilnya dan siapa
pun lembaga penyelenggaranya. Sensitifitas serta reaksi kritis sangat
terasa di lingkungan radio swasta yang tergabung dalam Persatuan Radio
Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI).

Penolakan terhadap hasil riset, menurut Jonathans, cenderung muncul dari
radio-radio yang berada pada peringkat non-10 Besar. Mereka kuatir
publik tahu kalau radio-radio tersebut peringkatnya di luar 10 besar.
Ini bisa berimplikasi pada kemerosotan iklannya.

Bisnis radio itu unik. Pemilik surat kabar dapat menghitung pembacanya
melalui sirkulasi entah harian, mingguan, bulanan, atau kapan pun mereka
butuhkan. Bagaimana pemilik radio menghitung pendengarnya? Memang benar,
radio memproduksi program siaran yang dinikmati pendengar. Tapi
pendengar tidak akan pernah membayar sepeser pun walaupun mereka telah
mendengar program siaran kita seharian penuh.

Masalahnya menjadi makin tidak sederhana saat radio berurusan dengan
iklan. Akses terhadap sejumlah pendengar radio dengan kualitas dan
karakteristik tertentu, akan ditukar dengan sejumlah uang lewat
penyiaran iklan. Bagaimana radio dapat mengetahui jumlah, kualitas dan
karakteristik pendengarnya?

Sejauh ini, hanya riset khalayak yang mampu menjawab permasalahan
demikian secara lebih terukur. Riset khalayak berperan sebagai umpan
balik pendengar, selain 'etalase' yang memungkinkan pengiklan
melihat-lihat dan menimbang-nimbang apakah pendengar radio "xyz" bisa
dijadikan calon konsumen mereka.

Tapi, tetap saja bukan perkara mudah untuk menanamkan keyakinan akan
pentingnya riset khalayak.
"Bahkan ada yang sampai 'alergi' riset," kata Errol Jonathans.

Hasil riset ACNielsen juga dipertanyakan. Ini karena, ACNielsen sering
bikin kesalahan dalam mengumpulkan data awal obyek risetnya. Secara
keseluruhan, kesalahan itu tidak terlalu mempengaruhi proses
penelitiannya, tapi justru fatal di mata orang radio, sebagai obyek
risetnya. Contohnya, ada radio yang sudah mati, tidak mengudara, tapi
pada hasil risetnya radio tersebut masih punya sejumlah pendengar.

Ada juga yang melontarkan isu yang berkembang pada praktisi radio
tentang adanya kecurigaan, bahwa petugas pewawancara riset di lapangan
bisa disuap oleh radio tertentu.

Masih ada argumen lain. Hasil riset khalayak bisa berbeda jauh dengan
data-data surat atau penelepon yang dimiliki radio itu. Di titik inilah
reaksi penolakan pengelola radio akan pentingnya riset, semakin menguat.
Mereka percaya, data penelepon dan surat yang masuk ke studio adalah
gambaran utuh pendengarnya.

Sampai di situ saya teringat pandangan Graham Mytton, mantan kepala
departemen riset khalayak / BBC World Service / (1982-1996). Mytton
mengatakan orang yang aktif mengirim surat atau menelepon radio tidak
dapat mewakili seluruh pendengar. Jenis kepribadian mereka berbeda
dengan orang kebanyakan atau pendengar pasif. Sepucuk surat hanya bisa
mewakili penulisnya sendiri, bukan orang lain.

Buat Mytton, lumrah jika riset khalayak cukup sulit dipahami. Bukan
karena orang mau tidak mau harus berurusan dengan angka-angka dan teori
yang sudah terlanjur dianggap memusingkan, tapi lebih kepada sulitnya
membongkar pemahaman bagaimana seharusnya sebuah riset dijalankan.

Mytton dulu pernah memimpin program riset yang sangat kompleks di 100
negara lebih. Unesco sempat mengundangnya untuk mengampu peserta
lokakarya riset khalayak di Medan, Yogyakarta, Samarinda dan Makassar,
pada September 2001 lalu.

"Protes keras seperti ini biasa. Itu karena mereka belum paham bagaimana
membaca dan menanggapi keseluruhan hasil riset dan merasa tidak puas
karena data radionya tidak sesuai seperti yang diinginkan. Jadi mereka
mencari-cari cara untuk mendiskreditkan lembaga risetnya," kata Mytton
kepada saya di tengah-tengah silang-sengketa peserta lokakarya tadi.

Ketika seminar berlangsung, banyak kritik dilontarkan terhadap Ika
Jatmikasari dan Bayu Pambudi dari Nielsen Media Research. Di Semarang,
seorang peserta mengungkapkan bahwa pada hasil riset Nielsen Media
Research 2002, radio / Cendrawasih AM 828/—yang sudah berganti nama
menjadi / Suara Semarang FM 98.8/—datanya tidak muncul. Yang ada, justru
data "Cendrawasih." Padahal, kata peserta lain, hasil riset yang salah
akan merugikan radio bersangkutan. "Mengapa Nielsen mem-/published/ data
yang salah?" tanya peserta lain.

Bayu Pambudi menjawab, setiap kali akan memulai survai, pihaknya selalu
mengecek radio-radio yang akan disurvai. Data yang dikumpulkan adalah
nama radio sekaligus frekuensinya, yang kemudian dicetak dalam bentuk
stiker. Stiker tersebut akan menyertai buku harian untuk memudahkan
responden saat mengisinya. Maksudnya untuk berjaga-jaga, bila responden
hanya mengetahui frekuensi radio yang didengarnya, tapi tidak mengetahui
nama radionya, dan sebaliknya.

Menurut Pambudi, semakin lama semakin tidak mudah mengecek modulasi
radio-radio yang mengudara. Lebih-lebih bila pengecekan dilakukan dengan
tombol pencari frekuensi digital, banyak radio yang terlewat—terutama
pada radio dengan signal audio yang kurang kuat.

Untuk mengantisipasi kurang lengkapnya data radio yang didapat, atau
adanya radio yang baru mengudara pada saat survai dijalankan, Nielsen
Media Research menyertakan juga stiker-stiker kosong yang dapat diisi
sendiri oleh responden.

Sering juga terjadi, bila sebuah frekuensi radio sudah didapat, nama
radionya tidak diketahui. Bila itu terjadi, Nielsen Media Research
memutuskan untuk mencantumkan nama perusahaan dari radio yang memiliki
frekuensi tersebut. Itulah yang terjadi juga pada radio / Suara
Semarang/ yang mempunyai nama / Cendrawasih/ pada akte notarisnya.

Chatarina Tutiek Bintarnie dari radio / Suara Semarang/ menanyakan kapan
Nielsen mendapatkan data radionya? Pambudi menjawab, data didapat tahun
2002.

"Aneh sekali, padahal kita sudah memakai nama Suara Semarang sudah lama,
sejak tahun 1996," Katharina menukas cepat.

"Tahun depan kita akan merangkul PRSSNI untuk mendapatkan data yang
lebih valid," kata Pambudi.

Keakuratan penyebutan nama-nama radio yang dimiliki Nielsen Media
Research, sebenarnya tidak sulit bila ingin ditingkatkan. Pengelola
radio hampir dapat dipastikan senang hati memberikan informasi tambahan.
Institusi riset mana pun pasti akan kewalahan bila harus mencari sendiri
radio apa saja yang sudah berganti nama atau berganti frekuensi. Bahkan
ada radio yang beberapa kali mengganti namanya tapi tetap mengudara
dengan frekuensi yang sama.
Gunadi Sugiharso, presiden direktur Lowe Indonesia—perusahaan periklanan
yang pada tahun 2002 masih tetap ada di tingkat teratas dalam meraup
belanja iklan (Rp 347 milyar lebih) mengatakan, "Untuk
perusahaan-perusahaan khusus yang melakukan riset, saya kira kita harus
/appreciate/, karena tanpa mereka kita tidak akan bisa maju. Tapi
sebaliknya, demikian pun mereka harus selalu meningkatkan diri dalam hal
kualitas dari output mereka," katanya.

Sugiharso mengingatkan bahwa "sebetulnya kita sendirilah yang harus
hati-hati, agar jangan sampai kita hanya melihat pada masalah-masalah
yang ada saja sehingga menganggap semua yang dilakukan lembaga riset
menjadi tidak valid."

ADAKAH metode riset yang paling tepat, paling akurat dan paling murah?
Celakanya, tidak ada. Dalam bukunya / Knowing Your Audience/, Dennis
List, manajer riset / Australian Broadcasting Corporation (ABC)/ pada
1989-1998, menulis, "tidak ada metode riset yang terbaik, melainkan
masing-masing tepat digunakan untuk suatu situasi tertentu."

Nielsen Media Research menggunakan metode buku harian untuk pengukuran
khalayak radio tahun 2002. Metode ini memungkinkan pengguna hasil riset
dapat memetakan perilaku pendengar selama sepekan. Hal yang tidak
mungkin bisa dilakukan pada survai dengan wawancara tatap muka, yang
hanya bisa merekam perilaku pendengar pada sehari sebelumnya saja.

Kelebihan lain dari metode buku harian, responden yang merasa keberatan
atau tidak punya waktu untuk diwawancara, biasanya bersedia untuk
mengisi buku harian. Buku harian sangat membantu responden untuk segera
mencatat kegiatan mendengar radionya. Sementara pada wawancara tatap
muka, responden harus dibantu pewawancara riset untuk mengingat pada jam
berapa dan radio apa yang didengarnya kemarin. Metode buku harian juga
relatif lebih murah, karena hanya membutuhkan beberapa lembar kertas
untuk dibagikan pada respoden.

Ada kelemahannya. Responden bisa saja lupa untuk mencatat kegiatan
mendengar radionya. Atau, responden tidak mempunyai ingatan yang akurat.
Bisa jadi juga, responden mencatat apa yang biasanya didengar, bukan apa
yang sebenarnya didengar.

Berbeda dengan televisi. Nielsen Media Research menggunakan people meter
untuk mengukur khalayak televisi. Dibandingkan dengan buku harian, alat
elektronik ini lebih akurat. Alat yang diletakkan di dekat pesawat
televisi masing-masing responden ini mampu mencatat tanggal, waktu dan
televisi yang dinyalakan. Ada tombol atau nomor yang berbeda untuk tiap
anggota keluarga. Dengan cara ini paling tidak dapat dicatat, kapan,
program apa dan saluran televisi apa yang ditonton, siapa yang menonton,
umur, jenis kelamin, dan pekerjaannya.

Bukannya tanpa kritik. Di akhir tahun 1989, sebuah survai yang didanai
oleh / American Broadcasting Corporation (ABC), Columbia Broadcasting
System (CBS) / dan / National Broadcating Corporation (NBC)/ menyatakan
adanya bias pada hasil pengukuran people meter. Utamanya pada program
anak-anak yang disiarkan tiap Sabtu pagi. Masalahnya, ada kecenderungan
responden capek menekan-nekan tombol people meter untuk merekam perilaku
menonton televisinya. Apalagi anak-anak yang tentu lebih tidak dapat
diandalkan untuk bisa menekan tombol yang seharusnya, saat mereka
menyalakan perangkatnya.

Kemajuan teknologi terus dimanfaatkan untuk mengembangkan metode riset
demi meningkatkan akurasi. Graham Mytton bercerita pada saya bahwa
teknologi pengukuran khalayak untuk radio yang juga dapat digunakan
untuk TV sudah dikembangkan. Alat pengukur yang bisa dipakai responden
sepanjang hari itu berbentuk jam tangan atau pager kecil, yang bisa
mendengar semua signal audio, kemudian mencatatnya dalam bentuk digital.
Pada malam harinya, saat responden hendak tidur, perekam data dilepas
untuk proses pengisian baterei. Pada saat itulah, data yang terkumpul
berupa kode-kode di-download lembaga riset melalui telepon yang
dihubungkan modem.

Sementara alat pengukur yang berupa jam tangan, setelah digunakan untuk
merekam audio yang didengar oleh responden selama dua minggu, akan
diserahkan pada lembaga riset untuk dicocokkan dengan database yang ada.

Mytton, penulis buku / Handbook on Radio and Television Audience
Research/, pernah menulis kemajuan teknologi riset itu dengan judul /
Turn On, Tune In and Get Measured by Your Watch/ pada jurnal bulanan /
Market Research Society/, terbitan London, Juni 1998.

Alat canggih seukuran pager, seberat 75 gram itu, bernama / Portable
People Meter (PPM/). Arbitron, sebuah firma riset pemasaran dan media
internasional yang melayani praktisi penyiaran, pengiklan dan perusahaan
periklanan di Amerika Serikat, Meksiko dan Eropa, mengembangkan alat ini
sejak 1992. Sistemnya terus-menerus ditingkatkan, dites dan
disempurnakan. / North County Times/ edisi Oktober 2002 menyebutkan,
Nielsen Media Research turut serta dalam pengembangan proyek PPM ini.
Bila tidak ada aral melintang, untuk pasar Amerika, teknologi ini akan
mulai dioperasikan di Philadelphia, pertengahan tahun 2003.

Pada tahun 2001, Swiss, negara pertama yang memperkenalkan Radiocontrol,
alat pengukur khalayak radio berbentuk jam tangan. Proyeknya didanai
oleh pemerintah Swiss, dalam hal ini / Swiss Commission for Technology
and Innovation (CTI)/. Ia bekerjasama dengan perusahan riset pasar
pertama dan terbesar di Jerman, / Growth from Knowledge (GfK)/, yang
memiliki lebih dari 110 cabang yang tersebar di seluruh dunia.

Tapi tentu saja solusi yang ditawarkan dari teknologi ini jadi
benar-benar mahal. Bayangkan saja bila survai dilaksanakan di lima
sampai tujuh kota, dengan 5.000 – 7.000 responden, paling tidak lembaga
riset harus melengkapi masing-masing respondennya dengan jam tangan atau
pager beserta charger-nya. Bandingkan dengan metode buku harian yang
dilakukan Nielsen Media Research, yang hanya membutuhkan tujuh lembar
kertas saja untuk dibagikan pada tiap responden.

Dalam salah satu bagian buku Dennis List, yang menggeluti riset ini
sejak 1970-an silam, menulis, bahwa riset yang murah dan cepat, jarang
yang akurat. Riset yang cepat dan akurat, terkadang tidak mungkin murah.
Riset yang murah dan akurat biasanya lambat. Jadi, metode yang terbaik
adalah dengan menggabungkan beberapa metode riset, karena setiap metode
riset mempunyai kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Bila metode
riset digabungkan, kelemahan yang ada akan dapat ditanggulangi.


RISET kuantitatif atau survai yang biasa dijalankan oleh institusi riset
seperti ACNielsen, tidak dapat mengukur kualitas program, pendapat
pendengar terhadap program, atau mengetahui karakteristik pendengar
radio secara lebih detil. Kalau ingin mengetahuinya, perlu dilakukan
riset tambahan. Riset kualitatif akan mampu menjawab preferensi
pendengar terhadap program radio.

Sekitar 40 persen peserta seminar Unesco menyatakan sudah pernah
melakukan riset kualitatif dengan melakukan diskusi kelompok (/focus
group discussion/) dan wawancara melalui telepon. Yang perlu
ditingkatkan dalam pelaksanaan riset kualitatif semacam ini adalah
proses pelaksanaannya. Bagaimana pun juga ada prosedur yang harus
dipahami saat harus memilih siapa peserta diskusi yang diundang,
bagaimana mengelompokkan peserta diskusi sesuai dengan karakteristik
demografinya, berapa lama maksimalnya sebuah diskusi dijalankan untuk
menghindari kebosanan peserta, dan lain sebagainya.

Graham Mytton mengatakan, siaran / BBC World Service/ Mesir pernah
mengadakan diskusi kelompok tahun 1996 dengan menggunakan cara
personifikasi. Para peserta diskusi diberi pertanyaan-pertanyaan yang
berkaitan dengan BBC dan siaran radio lainnya yang mereka dengar.

Ada banyak persamaan dalam penggambaran yang diberikan peserta. Ada yang
menggambarkan, siaran BBC sebagai sosok pribadi yang serius dan jujur,
seorang yang bertampang klasik dengan kumis, seorang juru bicara yang
andal, seorang yang angkuh, tertutup. Ada yang menggambarkan seperti
Margaret Thatcher, seorang wanita yang berkepribadian kuat. Jadi, hampir
semua personifikasi BBC adalah maskulin, sesuatu yang dapat dipercaya
dan diandalkan, namun kaku, serius dan tidak ramah.

Peserta diskusi memberikan gambaran yang berbeda pada / Radio Monte
Carlo/, sebuah stasiun internasional yang terkenal di Mesir dan di
segenap pelosok Timur Tengah. Citra yang digambarkan, radio / Monte
Carlo/ seperti seorang wanita cantik yang menarik dengan dandanan yang
menor atau seperti seorang pria muda yang mengenakan kemeja dengan
telanjang dada, menggunakan gelang emas dan sedang mengendarai mobil BMW.

Contoh di atas bisa digunakan untuk mengetahui citra radio. Juga
sekaligus dapat digunakan untuk mengetahui citra radio pesaing.
Mengingat bahwa radio selalu diposisikan sebagai kawan bagi
pendengarnya, tentu perkara citra radio menjadi sangat penting untuk
diperhatikan demi mempertahankan dan meningkatkan loyalitas pendengar.

Riset kualitatif lebih disukai para produser dan pengelola program
karena mampu memberikan gagasan-gagasan baru untuk program radio yang
disukai pendengar. Untuk mengindari bias, biasanya pemandu riset
kualitatif bukanlah karyawan dari radio yang bersangkutan, paling tidak
bukan karyawan yang biasa berhubungan dengan pendengar. Bias mudah
terjadi bila responden merasa tidak enak hati kalau pendapatnya didengar
langsung oleh karyawan radio, sehingga mendorong mereka untuk mengatakan
hal-hal yang baik saja.


JUMLAH radio semakin banyak dan makin tersegmentasi. Bahkan, di
kota-kota besar praktek fragmentasi sudah dijalankan. Dengan sendirinya,
yang lebih relevan untuk menghitung peringkat adalah jumlah pendengar
terbanyak berdasarkan masing-masing target pendengarnya. / Top 10 Radio
in general is no longer relevant/. Begitu yang tertulis dalam salah satu
lembar presentasi Nielsen Media Research.

Dulu, peringkat hanya dibuat berdasarkan jumlah pendengar terbesar saja.
Sekarang, itu tidak cocok lagi. Kini, sebagian radio, utamanya di
kota-kota besar, sudah punya segmen pendengar sendiri-sendiri.
Segmentasi dilakukan untuk memenuhi tuntutan pasar. Segmentasi
diperlukan untuk diferensiasi.

Dengan kondisi seperti itu, radio / M97/ Jakarta—stasiun radio rock
klasik, yang mengambil segmen usia 20 -45 dengan SES AB—misalnya, tidak
akan mungkin ada di peringkat pertama dalam survai yang mengukur jumlah
pendengar radio secara umum, dari usia 10-60 tahun, /all-SES/,
/all-sex/. Kenapa? Karena jumlah pendengar rock klasik, sebagian besar
adalah pria, sedangkan jumlah pria lebih sedikit dibanding wanita.

Demikian juga dengan kelompok SES-AB. Populasi dengan SES-CDE lebih
banyak dibanding dengan SES-AB. Kalau pengukuran peringkat dilakukan
secara umum, tentu / M97/ tidak akan pernah ada berada di peringkat
teratas. Tapi kalau pengukuran peringkatnya didasarkan pada target
audience-nya, bisa jadi / M97/ ada di posisi teratas untuk kelompok umur
20 - 45, pria, SES-AB. Kalau dihubungkan dengan produk, tentu target /
audience/ ini jadi target konsumen bagi produk mobil, misalnya. Jadi,
pengukuran berdasarkan target / audience/ cocok untuk mengukur ketepatan
segmentasi bagi pengelola radio, sekaligus cocok dan dibutuhkan bagi
produsen.

Achjuman Achjadi mengatakan, saat pengiklan dan perusahaan periklanan
membicarakan target konsumen, mereka tidak membicarakan peringkat.
Setiap produk, targetnya beda. Sehingga, radio yang paling banyak
mempunyai pendengar dengan karakteristik sesuai dengan target
konsumen-lah yang akan dijadikan media iklannya. "Emangnya kita pakai
data ranking itu? Kagak!"

Saya sendiri bertanya-tanya, mengapa peringkat masih juga laku dijadikan
topik pembicaraan di kalangan praktisi radio. Sekitar tahun 1995-1998,
saya bekerja di radio / Wijaya FM 103.35/ Surabaya yang namanya selalu
ada di peringkat atas pada hasil riset Survey Riset Indonesia, ACNielsen
Indonesia, juga Frank Small, sampai tahun ini. Saya selalu melengkapi
proposal program yang akan diajukan pada pengiklan dengan grafik jumlah
dan karakteristik pendengar radio / Wijaya/ yang sesuai dengan target
konsumen klien. Tapi data itu dipersiapkan lebih sebagai alat bantu bagi
klien untuk menetapkan pada jam berapa saja program dan iklan bisa
dengan tepat diudarakan. Data-data itu bukan untuk memberitahu klien
kalau radio / Wijaya/ ada di peringkat atas.

Sangat berbeda saat saya bekerja di radio / Giga FM 99.85/ Sidoarjo yang
baru berdiri tahun 1996 itu. Nama radionya belum pernah masuk dalam
daftar 10 besar hasil riset dari mana pun. Tapi dengan data yang ada,
kelebihan yang sudah diraih namun belum bisa terlihat di mata klien,
justru lebih bisa ditonjolkan. Dengan harga iklan yang relatif lebih
rendah, juga dengan karakteristik pendengar radio yang beda, berdasarkan
temuan dari hasil riset, ternyata bisa memberikan nilai tambah bagi
klien. Dengan demikian, pengiklan bisa diyakinkan, bahwa dengan menambah
frekuensi penyiaran iklannya di radio / Giga/ akan mendapatkan
penambahan jumlah pendengar yang cukup signifikan. Signifikan dalam
artian, bukan sekedar duplikasi dari pendengar di radio yang lebih populer.

Dari dua pengalaman yang berbeda, saya berkeyakinan bahwa riset justru
akan lebih banyak dapat dimanfaatkan untuk membantu pengiklan
'menemukan' media iklan (radio), yang bisa jadi ternyata memiliki
potensi sekaligus efektif.

Achjadi, yang pernah menjabat sebagai direktur riset perusahaan
konsultan marketing dan riset Taylor Nelson Sofres (dulu Frank Small &
Associates), cukup sabar memberikan pemahaman tentang bagaimana
perusahaannya menentukan media yang akan dipakai. Ia juga memperlihatkan
data-data radio yang diolah sedemikian rupa dengan menggunakan data
Nielsen Media Research sebagai data awal.

Presentasi Achjadi membuat Nanang dari radio / Romantika FM 96.35/
Bondowoso, bersemangat melontarkan keinginannya agar radio segera
melakukan riset bersama. Tapi Djoko W. Tjahyo, direktur radio / El Bayu
AM 954 / Gresik, yang saat itu menjadi moderator mengatakan, "Bukan saya
menakut-nakuti, tapi itu membutuhkan persiapan mental."

Ia mengungkapkan, pada 2000, misalnya, pengurus PRSSNI Jawa Timur
berencana membuat riset bersama. Keputusan didapat dengan melewati
voting di antara 41 anggota. Itu pun cuma berselisih satu suara untuk
mendapatkan keputusan final.


PADA hasil riset Nielsen Media Research 2002, pengiklan dapat melihat
berapa jumlah pendengar masing-masing radio per 15 menit. Pengiklan
kemudian akan menggabungkan data ini dengan daftar harga iklan radio
yang mereka miliki. Maka mereka akan mendapatkan harga iklan efisien
bagi masing-masing radio, yang disebut / cost per mille (CPM)/—hitungan
ongkos yang dikeluarkan pengiklan untuk mencapai seribu kepala. Sampai
titik ini, kebanyakan pemilik radio bisa saja heran, "Kenapa harga iklan
selama ini justru ditentukan perusahaan periklanan bukan pengelola radio?"

"Yang sering dilakukan itu / cost base/. Seringkali orang radio datang
ke pengiklan dengan mengatakan 'Pak, saya baru bikin tower loh. Pemancar
saya baru diganti. / Cost/ saya meningkat, / so/ harga saya naik
segini,'" begitu Chandra Novriadi menirukan perkataan yang sering muncul
dari praktisi radio kepada pengiklan.
Novriadi, direktur utama Radionet Cipta Karya, sebuah perusahaan
periklanan di bawah naungan Masima Corporation, menganggap cara itu
tidak efisien. "Masa orang lain disuruh menderita gara-gara kita?"

Kedengarannya memang lucu. Tapi itulah yang paling sering terjadi.
Pengelola radio hanya memikirkan berapa uang yang harus dikeluarkannya
untuk biaya listrik, telepon, perawatan pemancar, gaji karyawan yang
kemudian akan 'ditagihkan' kepada pengiklan dalam bentuk biaya penyiaran
iklan. Malahan, kadang harga iklan hanya dibuat mirip-mirip dengan harga
radio pesaing.

Kemampuan para profesional radio dalam hal riset khalayak juga
memerlukan pemikiran. Kesalahan dalam membaca hasil riset, akan
berakibat fatal bagi bisnis radio. Menyisihkan dana untuk membekali
profesional radio kita dengan kemampuan seperti ini, tentu tidak akan
lebih mahal bila dibanding membiayai radio yang terus menerus 'salah urus.'

Sementara sebagian besar praktisi radio masih berdebat dan ragu tentang
perlunya riset, pengiklan dan perusahaan periklanan sudah dapat
membandingkan mana harga iklan yang efektif mana yang tidak. Mereka juga
mampu melihat besarnya jumlah pendengar dari waktu ke waktu di tiap
radio, bahkan boleh jadi lebih mengenali karakteristik pendengar tiap
radio berdasarkan data riset.

Tidak heran, bila masih banyak radio yang merasa 'tertekan' oleh harga
iklan yang disodorkan oleh pengiklan. Dengan kesiapan informasi tentang
radio yang dimiliki oleh pengiklan, memang sangat memungkinkan bagi para
pengiklan untuk mengatakan pada radio, / take it or leave it/, pada
order yang diberikannya. Sebaliknya, radio kurang cukup data dalam
bernegosiasi. Walaupun masih ada beberapa nama pengiklan yang mau
memberi harga bagus untuk iklan radio, kegiatan tawar-menawar akan terus
berjalan dan tidak akan mungkin ditiadakan.


SEJARAH pertumbuhan radio siaran komersial di Indonesia sejak tahun
1960-an dapat dijadikan alasan utama mengapa radio komersial Indonesia
tidak berbasis riset. "Embrio radio komersial saat itu bermula dari
'main-main' menjadi 'sungguhan.' Kesadaran sebagai media-massa pun
tidak, apalagi media massa yang selalu berbasis penelitian atau riset,"
begitu kata Errol Jonathans.

Perjalanan radio / Suara Surabaya/ kurang lebih serupa dengan kebanyakan
radio di Indonesia. Awal pendiriannya juga dikelola dengan pendekatan
naluri ketimbang menggunakan hasil-hasil riset pendahuluan. Kiprahnya
sama juga dengan radio lain yang mencoba-coba menganalisa perkembangan
bisnis radio berdasarkan pengalaman dan kecenderungan yang umum. Bahkan,
radio / Suara Surabaya/ juga berperilaku sama dengan radio yang berusaha
menyalin hasil riset SRI (Survey Riset Indonesia, sekarang ACNielsen
Indonesia) serta sangat sibuk menghitung-hitung posisinya dalam peringkat.

Beruntung radio tersebut sampai pada kesadaran profesionalnya, bahwa
bisnis radio siaran perlu ditangani secara 'scientific' selain tetap
mempercayai insting bisnis, seraya mempelajari tahapan sukses yang
pernah diraih.

Mendirikan radio pada 10 sampai 30 tahun ke belakang dibandingkan dengan
masa sekarang tentu sangat berbeda. Demikian pula cara mengelolanya.
Cara-cara lama tentu sudah harus ditinggalkan karena efektifitasnya
sudah banyak berkurang. Jumlah radio yang makin banyak, makin sempitnya
pasar yang digarap dan kondisi yang berubah cepat, tidak akan cukup
diatasi dan ditaklukkan dengan kerja keras dan insting. Untuk
meminimalkan kesalahan dalam mengambil keputusan bisnis, perlu
informasi-informasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Informasi seperti
itu bisa didapat dari riset.

Roger D. Wimmer dan Joseph R. Dominick, bertanya pada Frank Bell, wakil
presiden sekaligus programming Sinclair Communication, Inc., yang
menguasai hampir 25 persen bisnis televisi di Amerika Serikat tentang
pentingnya riset, utamanya riset kualitatif. Wimmer adalah presiden
direktur sekaligus pendiri Wimmer-Hudson, sebuah perusahaan riset dan
pengembangan di Denver Colorado. Sedangkan Dominick, pengajar pada
Sekolah Jurnalisme dan Komunikasi Massa Universitas Georgia.

Menjawab mereka, Bell mendeskripsikan pentingnya riset bagi pendatang
baru di dunia penyiaran.

Menurut Bell, pengelola radio baru dapat dianalogikan seperti pilot yang
sedang berusaha keras menerbangkan pesawat dengan aman saat melewati
badai, sementara semua alat navigasi macet. Saat turbolensi
mengombang-ambingkan pesawat, para penumpang, dengan perspektifnya
masing-masing berteriak, memberi saran. "Naikkan pesawat, ada gunung di
depan!" Yang lain berteriak dan berkata,"Jangan terbang ke arah sana,
awannya mengandung kilat!" Tapi ada juga yang berkata, "Hey, ada pesawat
lain datang dari arah kanan!"

Bell mengatakan, bila pengelola radio tidak mengetahui kekuatan dan
kelemahan dari radionya sendiri dan pesaing utamanya, tidak mempunyai
pegangan terhadap selera pasar, juga tidak merasa yakin apa yang bisa
dilakukan bila esok muncul pesaing baru, berarti pengelola radio itu
sama saja dengan terbang dengan mata tertutup.

Tapi riset itu mahal. Asal tahu saja, perangkat lunak yang berisi data
sekaligus analisa bisa mencapai Rp 20 juta lebih. Toh Chandra
Novriadi—yang juga komisaris Masima Corporation, sebuah induk perusahaan
yang konsisten menjadikan bisnis radio sebagai bisnis
utamanya—menganggap riset itu murah bila orang mampu memaksimalkan
penggunaannya untuk pengambilan keputusan yang memajukan bisnis.
Sebaliknya, akan kelewat mahal bila ia tidak mau dan mampu memanfaatkannya.

Novriadi menggunakan hasil riset ACNielsen ditambah dengan kegiatan
riset sendiri untuk mengembangkan bisnis radio dan perusahaan
periklanan, tempatnya bekerja. "Sekali terjadi kesalahan, kompetitor
akan mengambil untungnya!" Dan itulah yang terjadi pada / Prambors FM
102.3/ ketika bersaing dengan radio lain yang menggarap segmen yang
hampir sama, taruhlah radio / Hard Rock FM 87.6/ dan / Mustang FM 100.55/.

Belum lama ini, kata Novriadi, Prambors melakukan riset kualitatif
dengan menggunakan wawancara mendalam melibatkan 72 responden dengan
tujuan untuk mengetahui karakteristik khalayak pendengar / Prambors/,
yang cepat sekali berubah. Seraya menunjukkan tabel-tabel dan
grafik-grafik hasil risetnya, Novriadi menuturkan, "Kalau dilihat dari
data Nielsen, tidak dibedakan pengeluaran rumah tangga responden per
bulan antara yang di atas 1 juta, 2 juta atau yang 7 juta, karena itu
semua dimasukkan dalam satu kategori, SES-A1."

Novriadi ingin tahu lebih detil berapa pengeluaran rumah tangga
pendengar / Prambors/ per bulan. Hasilnya, 34 persen di atas Rp 7 juta.
"Ini merupakan / buying power / yang besar. Dan ini menarik buat kita
karena di data riset Nielsen nggak ketemu jumlah itu."

Melalui riset tersebut dapat diketahui juga apakah pendengar / Prambors/
termasuk sebagai / leader/ atau / follower/ pada "selera musik, fashion,
aktifitas, tempat nongkrong dan lain-lain." Pola penggunaan internet
juga dicek, di mana tempat menggunakan internetnya, frekuensinya, jenis
pemakaiannya (untuk /browsing/, / chatting/ atau /shopping/).

Tahun lalu, pada data ACNielsen, menurut Novriadi, cuma ada tujuh –
delapan persen pendengar radio yang menggunakan internet. Untuk
pendengar / Prambors/, didapatkan angka 90,7 persen; khusus untuk segmen
pendengar usia 15-24, dengan SES AB. Begitulah usaha riset yang
dilakukan / Prambors/ untuk dapat terus memantau perubahan karakteristik
pendengar / Prambors/, yang kemudian akan sangat berguna dalam menunjang
kreatifitas program siaran, mempertahankan dan menambah jumlah
pendengar, sekaligus menjaring iklan.

Lain lagi dengan radio / Suara Surabaya/. Radio yang telah berjurnalisme
sejak kemunculannya pada Juni 1983 lalu kemudian mengembangkan format
jurnalisme interaktif ini banyak diminati mahasiswa sarjana dan pasca
sarjana untuk dijadikan obyek riset. Jurnalisme interaktif membutuhkan
jajaran gate keeper yang tangguh dalam melayani penelpon sekaligus
cerdas dalam menindaklanjuti setiap laporan dan masalah yang masuk.
Analisis stressor pada penyiar dan / gatekeeper/ / Suara Surabaya/
adalah salah satu tema riset yang pernah dilakukan oleh seorang
mahasiswa pasca sarjana yang kemudian dengan tangan terbuka hasilnya
diterima dan dipelajari untuk dijadikan dasar pengambilan keputusan
manajemen radio / Suara Surabaya/ untuk memperbaiki kekurangan yang
ditemukan. / Suara Surabaya/ juga melakukan riset bersama-sama dengan
lembaga riset lokal, semisal Enciety Surabaya, untuk mengetahui
kebutuhan masyarakat mendapat informasi lewat radio, serta gaya hidup
dan perilaku.

Errol Jonathans, salah satu penulis buku Radio dan Politik mengatakan,
ketika bisnis radio berkembang berupa perlipatan kapital dari iklan yang
disebabkan keberhasilan meraup pendengar, proses mempertahankannya
ternyata memerlukan dukungan data yang lebih akurat. Sangat berbahaya
bila radio yang sukses tidak tahu dengan tepat mengapa dia sukses,
sebaliknya juga dengan yang gagal. Atau, untuk menemukan hal apa yang
menyebabkan satu radio lebih sukses meraih pendengar dibandingkan radio
lainnya, padahal keduanya menyiarkan materi yang sama. Menurutnya,
jawabannya sebaiknya didapatkan dari suatu riset.


BEGITU iklan disiarkan dan diperdengarkan melalui radio, secara alamiah
pengiklan hampir dapat dipastikan akan bertanya berapa banyak orang yang
mendengarnya dan seberapa efektif iklan tersebut dapat menarik minat
pendengarnya? "/Advertisers, not broadcasters, were the initiators of
broadcast research/," kata Roger Wimmer dan Joseph Dominick dalam / Mass
Media Research, An Introduction/.

Kini, data tentang siapa yang mendengarkan dan berapa orang yang
mendengarkan, belum cukup. Jenis media yang semakin banyak dan kebiasaan
mengkonsumsi media yang juga terus berkembang membuat pengiklan akan
semakin berhati-hati memilih media mana yang tepat untuk
mengomunikasikan produknya. Achjuman Achjadi mengatakan, pengiklan terus
bertanya apa dasar pemikiran perusahaan periklanan memilih media iklan
yang satu dari media yang lain.

Sejak lama saya gelisah dengan keberadaan posisi tawar radio di mata
pengiklan yang pada umumnya masih rendah. Setelah televisi swasta
bermunculan, porsi iklan radio mulai berkurang, padahal jumlah radio
terus meningkat.


Terlihat, televisi mengambil porsi volume iklan terbesar, jauh
mengalahkan media lain yang sebelumnya lebih unggul, terutama koran dan
radio. Achjadi mengatakan, hal ini terjadi karena televisilah yang
paling bisa diukur efektifitasnya. Data riset televisi sudah berisi
tentang demografi, rating acara, profil penonton, detil program
sekaligus profil penonton tiap programnya, selain menampilkan data
kegiatan beriklan masing-masing produsen. Hal yang sama belum bisa
didapat di industri radio.
Gunadi Sugiharso yang juga memimpin Initiative Media Indonesia,
departemen media independen yang baru saja melepaskan diri dari Lowe
Indonesia, menerangkan, pangsa iklan radio yang tadinya 6,1 persen pada
1994, sekarang tinggal 3,5 persen. "Mungkin memang ada yang radionya
bagus, bisnisnya juga pasti bagus, meningkat terus. Tapi sebetulnya,
peningkatannya bisa jauh lebih besar. Ada potensi yang hilang yang tidak
kita sadari."


Terlihat, sebenarnya volume belanja iklan di radio mengalami peningkatan
setelah 1998, walaupun pangsanya menurun dibandingkan dengan media yang
lain. Saya mengartikannya, masih besar harapan untuk meningkatkan
pendapatan dari iklan, karena adanya industri yang masih terus
meningkatkan investasinya di bidang periklanan pascakrisis.

Dibawah ini dapat dilihat grafik belanja iklan radio di Indonesia
dibandingkan dengan negara lain.


Pada grafik di atas terlihat, pangsa iklan radio di Indonesia tertinggal
dengan Malaysia yang mencapai empat persen, Singapura dengan pangsa
delapan persen, Thailand yang mampu mencapai 10 persen dan bahkan
tertinggal jauh dengan Philipina yang meraih 18 persen untuk pangsa
iklan radio.

Mungkinkah potensi radio di Indonesia mampu kembali diraih? Keyakinan
besar justru ditumbuhkan oleh Sugiharso, yang perusahaannya turut
mendongkrak penjualan Sampoerna Hijau di tahun 2000 menjadi 200 persen
di tahun 2001 melalui iklannya, "Geng Hijau."

"Ada kata-kata mutiara dari Confisius, '/one picture is word - a
thousands words/.' Jadi satu gambar nilainya seperti seribu kata-kata.
Kalau kita melihat satu gambar, kita bisa bisa menuliskannya jadi cerita
yang panjang. Tapi sebaliknya saya katakan, '/a sound is word - ten
thousands pictures/.' Suara bisa menggambarkan macam-macam gambaran di
pikiran kita. Suara itu begitu /powerful/-nya, demikian kuatnya."

Ia juga menekankan, / improvement/ melalui radio lebih dalam
dibandingkan dengan televisi yang audio-visual. "Tahun lalu, ada 50
produk baru diluncurkan. Dan ada 3.000 judul iklan televisi baru
ditayangkan. Bagaimana mungkin kita sebagai konsumen mampu mengingatnya?"

Berbekal data-data dari Initiative Media Indonesia, Sugiharso mengatakan
bahwa, harga satu spot iklan di televisi dengan durasi 30 detik,
rata-rata harganya bisa mencapai 30 juta rupiah. "Bayangkan bila sebuah
spot iklan yang dipasang di sebuah program sinetron, yang jumlah durasi
iklannya lebih panjang dari durasi sinteronnya," katanya, seraya
menjelaskan, iklan tersebut akan bersaing dilihat dan diingat dengan
sekitar 68 spot yang lain. "Apakah kita akan bisa mengingatnya?"

Ada pernyataan, kalau sebuah iklan seharga Rp 30 juta hanya untuk 30
detik di televisi, pasti kalau di radio iklannya bisa disiarkan entah
sampai berapa kali, sehingga memperbesar kemungkinan sebuah iklan dapat
diingat oleh pendengarnya. Ini karena kisaran harga iklan di radio Rp
10.000 sampai 500.000 per spot (60 detik). Jadi, kalau Rp 30 juta untuk
televisi = 1 spot (30 detik), untuk radio = 120 – 6000 spot. Bisa
dibayangkan kalau satu hari, spot tersebut diputar dengan frekuensi 10 x
per hari – ini frekuensi yang terbilang / heavy/ di radio – berarti
iklan tersebut bisa diputar selama 12 hari – 20 bulan.

Chandra Novriadi menjelaskan, "Orang pasang iklan yang dibayar bukan
hanya biaya moneternya. Ada biaya waktu, biaya tenaga, biaya psikis." Ia
menceritakan juga, beberapa bulan lalu ia mengurusi proyek iklan P&G
dari Starcom. Agak kaget dia waktu melihat bukti siar iklan radio
bertumpuk memenuhi gudang di gedung Kreasindo Jakarta, tempat Starcom
berkantor. "Harga radio memang lebih murah sebetulnya. Cuma total
biayanya jadi lebih mahal karena ada biaya kesel, ada biaya emosional,
ada biaya waktu, ada biaya macem-macem yang lain."

Saya jadi teringat lagi Gunadi Sugiharso. Katanya, adalah suatu harapan
bila radio dapat memanfaatkan fasilitas internet secara maksimal untuk
proses pemesanan dan pelaporan penyiaran iklan di radio. Dengan
demikian, pengiklan dan perusahaan periklanan tidak terlalu direpotkan
dengan kertas-kertas laporan penyiaran iklan yang memakan tempat dan
tenaga untuk membaca dan memeriksanya.

Sugiharso menggarisbawahi untuk tidak menyamakan antara karakteristik
televisi dan radio. Yang dicari pengiklan di televisi adalah programnya,
sementara radio yang dicari adalah radionya. Ia sendiri merasakan kalau
radio mempunyai kedekatan dengan pendengarnya. "Lebih penting bagi
kawan-kawan radio untuk mengenali pendengarnya atau calon-calon
pendengarnya dengan baik. Karena dengan kita mengenal pendengar kita,
kita bisa menempatkan radio menjadi lebih dekat lagi dengan pendengar,
dan pendengar akan lebih loyal lagi kepada radio kita".

Gagasan yang dilontarkan Sugiharso tentang perlunya radio meningkatkan
diri dan mendorong perusahaan riset untuk memproduksi lebih banyak data
pendengar radio, sangat menarik untuk diberi perhatian. Menurutnya, data
radio yang hanya dibuat satu kali dalam satu tahun, perlu ditambah
frekuensi dan materinya. "Untuk itu kita perlu bergabung untuk membuat
suatu riset untuk pengembangan radio. Dalam hal ini diperlukan
kebersamaan dan juga perlu seorang ahli riset untuk membantu kita dalam
pencanangan rencana ini."

Ide yang senafas dengan Graham Mytton.

Saat lokakarya, Mytton menekankan perlunya industri radio bergabung
dengan pengiklan dan lembaga riset seperti yang sudah dilakukan di
beberapa negara Eropa, Asia dan Afrika dengan nama Joint Industry
Committeess (JIG). Di Afrika Selatan, ada komite serupa dengan itu,
yaitu All Media and Products Surveys (AMPS), di Zimbabwe ada Zimbabwe
All Media and Products Surveys (ZAMPS) dan di Namimbia ada Namimbia All
Media and Products Surveys (NAMPS).
Indonesia? (n_mandolang@yahoo.com)

back to top
<http://jakarta.unesco.or.id/localrad/BAHASA/IMAGES/ARTICLES/WPFD-2002_copy%281%29.htm#top>