Jumat, 07 November 2008

Meraih Untung: Bisnis riset sedang naik daun

Sambil Meneliti Meraih Untung: Bisnis riset sedang naik daun
Arsip Artikel Perpustakaan dan
Buku Terbitan Indonesia
Bisnis perusahaan riset ternyata cukup menggiurkan. Permintaannya terus meningkat, pemainnya belum banyak. Modal usahanya pun tak gede-gede amat. Kunci suksesnya sederhana: jaga akurasi data.
Di era milenium yang serbacanggih ini, riset atau penelitian tak melulu milik profesor atau kalangan kampus. Hasil riset atau penelitian tak lagi dipandang sebagai bundelan berisi kalimat ilmiah yang menjemukan. Sekarang riset telah menjadi salah satu ajang bisnis yang cukup basah.
Tak cuma kalangan dunia usaha yang membutuhkan hasil riset untuk pengembangan produk dan bisnisnya. Para politisi juga membutuhkan untuk melancarkan strategi dan kebijakan partainya. Belakangan, kalangan media massa pun menjadi salah satu pelanggan tetap hasil riset tersebut. Jelas saja perusahaan riset terus bermunculan. Habis, permintaannya besar sih.
Bisnis riset memang telah menjadi ladang usaha yang menggiurkan. Modal utamanya sumber daya manusia yang mengerti seluk-beluk riset dan pengolahan data. Kalau modal uangnya, sih, tidak gede-gede amat. Lihat saja pengalaman sekelompok alumni Fisip UI angkatan 1994 yang mendirikan perusahaan riset bernama Research Community (Recom). Ketika didirikan enam bulan lalu, "Modal kami nol," ujar Rita Listiawati, salah satu peneliti Recom. Berbekal komputer milik pribadi, mereka menyewa ruangan kerja berukuran 2 x 2 m2 di perpustakaan UI. Sewa ruangan Rp 30.000 per bulan itu pun dibayar secara bergiliran di antara anggotanya. Hasilnya, Recom sudah menyabet beberapa order dengan nilai kontrak antara Rp 40 juta sampai Rp 200 juta dengan tingkat keuntungan 25%.
Sedapnya berbisnis riset ini juga dinikmati Surindo (Survey Research Indonesia). Perusahaan riset lokal pertama ini didirikan tahun 1980 oleh Jackie Ambadar dengan modal Rp 1 juta. Sekarang Surindo sudah memiliki puluhan bahkan ratusan pelanggan. Mulai dari media massa, biro iklan, perbankan, asuransi, penerbangan, kosmestik, farmasi, dan consumers goods. Hasilnya, setiap bulan Surindo mengantungi omzet Rp 900 juta.
Menggaet pelanggan kakap salah satu kuncinya
Basahnya bisnis jasa penelitian dirasakan juga oleh Deka Marketing, salah satu perusahaan riset yang telah memiliki enam cabang. Deka saban bulan paling tidak mendapatkan 10 order penelitian. Dengan nilai kontrak berkisar antara Rp 25 juta sampai ratusan juta, setiap bulannya Deka bisa mengantungi duit sedikitnya Rp 500 juta.
Selain kualitas pelayanan dan akurasi hasil penelitian, kunci sukses perusahaan riset adalah kemampuan menjaring pelanggan. Tengok saja pengalaman Recom yang dalam waktu enam bulan telah berhasil menggaet order ratusan juta. Semua itu, menurut Rita, berkat kegigihan Recom mengirim proposal ke perusahaan-perusahaan besar. "Tak lupa, kami juga gencar mengajukan proposal untuk alumni sosiologi UI," ujarnya.
Kiat Deka menjaring pelanggan setali tiga uang. "Kiat kami, menggaet para kenalan," tutur Irma Malibari Putranto, pendiri dan Managing Director Deka. Selain menggaet PT Bayer, perusahaan tempat dia sebelumnya bekerja, Irma juga bisa menjaring banyak pelanggan kakap yang dikenalnya ketika bekerja di Bayer.
Secara garis besar, order penelitian yang diterima perusahaan riset tersebut adalah penelitian untuk kebutuhan bisnis, seperti riset pasar dan penelitian sosial. Nah, sekarang ini order yang jatuh ke perusahaan riset kebanyakan penelitian pasar. Contohnya, ya, Deka dan Surindo. Akan halnya Recom, lebih berkonsentrasikan pada penelitian sosial.
Metode riset yang dipakai masing-masing perusahaan boleh dibilang tak jauh berbeda. Umumnya penelitian tersebut dibagi menjadi penelitian kuantitatif, kualitatif, focus group discussion (FGD), dan wawancara mendalam. Penelitian dengan metode kuantitatif paling mahal ketimbang yang lainnya. Maklum, untuk penelitian jenis ini umumnya dibutuhkan jumlah re-sponden yang cukup banyak, mencapai ribuan orang. Untuk itu tentu saja dibutuhkan jumlah pewawancara atau penyebar kuesioner yang cukup banyak pula.
Hampir semua perusahaan riset menggunakan tenaga kontrakan. Contohnya Deka. Untuk melakukan penelitian terhadap 1.000 orang responden, perusahaan riset ini menurunkan sekitar 400 orang pewawancara. Selain upah, biaya perbanyakan kuesioner dan pengolahan data penelitian model ini lebih besar ketimbang penelitian kualitatif. Adapun FGD dan wawancara mendalam umumnya hanya melibatkan sekelompok kecil responden.
Salah satu yang harus dicermati dalam bisnis penelitian adalah soal keakuratan data. Sekali saja penelitian tak akurat, jangan harap ada pelanggan lain yang datang. "Karena itulah quality control itu harus ketat benar," ujar Irma. Pengontrolan kualitas itu dilakukan Deka dengan cara mengecek ulang sekitar 30% dari kuesioner yang masuk. Jika ada kuesioner yang salah, misalnya nomor telepon responden tidak bisa dihubungi atau alamatnya tidak jelas, kuesioner itu akan diganti. Irma mengatakan, pihaknya juga bersedia melakukan riset ulang jika si pelanggan merasa tak puas. Biaya pengulangan riset itu semuanya akan ditanggung Deka. "Tapi, itu jarang sekali terjadi," ujar Irma.
Yang namanya usaha pasti ada kendala dan risiko. Asalkan risiko dan keuntungannya sebanding, mengapa tidak?
Tak Lagi Riset Dimonopoli
Setelah bertahun-tahun memonopoli jalur riset media, SRI-AC Nielsen mendapat pesaing baru. Perencana media makin bingung?

MENJADI perencana media, sekarang ini, tentu tidak mudah. Mereka akan dipusingkan dengan urusan memilih media cetak yang paling pas untuk mengiklankan produknya. Bagaimana tak pusing, Media yang ditawarkan begitu banyak, sementara anggaran beriklan makin menyusut. Apalagi bila ratusan media yang sudah mengantongi surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) benar-benar sudah mengguyur pasar.
Para perencana media tidak bisa mengandalkan intuisi atau pengamatan mereka sendiri. Mereka memerlukan hasil survei media yang antara lain mengukur perkiraan jumlah pembaca media cetak, informasi tentang unsur-unsur demografi, serta tingkat konsumsi terhadap produk barang dan jasa.
Selama ini, kalangan media boleh dikatakan bergantung pada lembaga riset Survey Research Indonesia (SRI) yang kini bermitra dengan AC Nielsen. Hasil riset lembaga ini memang seperti menjadi buku pedoman wajib bagi pengiklan, biro iklan, serta media cetak dan televisi. Maklum, lembaga riset "raksasa" ini hampir tak punya pesaing berarti.
"Jadinya kami terkadang didikte SRI. Kalau enggak mau, ya sudah. Padahal kami butuh data. Sementara itu, enggak ada biro riset yang lain,?? kata Zaenal Muhtadin, perencana media dari biro iklan Hotline. Keluhan lainnya, "Software SRI sering rusak. Repotnya kalau kontak ke SRI untuk minta diperbaiki dan mereka bilang harus nunggu karena ahlinya dipakai di agensi lain. Ini membuat pekerjaan tertunda,?? ujar Anton Ardiantoro, manajer media biro iklan Kreasindo-Leo Burnett.
Syukur, sekarang ada pilihan lain. SRI-AC Nielsen tidak lagi menjadi satu-satunya lembaga di bidang riset media di Indonesia. Bulan ini muncul lembaga riset media yang juga termasuk perusahaan riset papan atas: Taylor Nelson Sofres (TNS). Ini kelompok perusahaan konsultan penelitian dan pemasaran hasil merger Taylor Nelson (Amerika), Sofres (Prancis), dan Frank Small Associates (Australia). Di dunia, perusahaan ini berada di peringkat keempat dengan pendapatan tahunan US$ 440 juta.
Memang TNS masih di bawah AC Nielsen, yang peringkatnya ada di pucuk tertinggi di dunia dengan pendapatan per tahun mencapai rata-rata US$ 1,36 miliar. Karena itu, SRI-AC Nielsen memang terlalu kuat untuk disaingi. Biro riset Surindo, misalnya, pernah sekali mencoba menyaingi SRI-AC Nielsen pada 1995 untuk memetakan konsumen produk ke dalam kategori psikologis. Respondennya hanya 2.500 orang dan mereka "kalah".
Kini TNS menantang dengan 9.000 responden--sama dengan jumlah responden yang dipergunakan SRI-AC Nielsen. Tapi penyebaran responden TNS lebih luas. Sementara SRI-AC Nielsen hanya menjangkau sembilan kota besar di Indonesia, TNS menjangkau 17 kota besar. Selain itu, sementara riset pesaingnya hanya dilakukan sekali setahun, dalam waktu yang sama TNS melakukan riset dua kali.
Gentarkah SRI-AC Nielsen? ??Manakala konsumen memiliki pilihan, mereka akan melakukan seleksi,?? kata Rita Dumais, direktur media SRI-AC Nielsen, dalam jawaban tertulis kepada TEMPO. Meski jangkauan riset TNS lebih besar, SRI-AC Nielsen tak terlalu khawatir. ??Jangkauan kota yang besar belum tentu dapat memberikan jumlah sampel yang cukup di setiap kota untuk memenuhi analisis sampai tingkat makro,?? kata Rita. Lagi pula, Rita yakin, survei media harus dilakukan bukan atas dasar pesanan, supaya bisa menjadi tolok ukur untuk industri.
TNS memang melakukan survei atas pesanan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) dan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI). Untuk memenuhi pesanan tersebut, TNS melakukan dua hal sekaligus: riset radio sekalian media cetak. Karena itu, riset TNS bisa dijual dengan harga yang lebih miring. Sementara paket-paket riset yang ditawarkan SRI-AC Nielsen kisaran harganya dari Rp 3 juta sampai Rp 51 juta, paket TNS yang termahal hanya Rp 12 juta. Menurut Ade Armandi, manajer riset media TNS, pemakai data bahkan bisa memesan sesuai dengan kebutuhan mereka. ??Istilahnya bisa di-customized,?? ujar Ade.
Apakah riset SRI-AC Nielsen lantas tak menarik untuk dilirik? Tunggu dulu. ??TNS perlu melakukan edukasi pasar. Misalnya memberikan contoh data penelitian yang telah dilakukannya, lalu menunjukkan perbedaannya dengan SRI-AC Nielsen,?? ujar manajer pemasaran harian Media Indonesia, Arif Hidayat Thamrin. Kalau tidak, jangan-jangan malah bikin bingung pemakainya.
Wicaksono, Arif Zulkifli