Minggu, 12 Oktober 2008

Menghormati orang tua




Komunitas Muslim yang dirahmati Allah.

Saya memahami bagaimana Islam sangat menghormati orang tua terutama ibu.
namun ada hal yang ingin saya tanyakan, apakah yang dilakukan seorang ibu
terhadap anaknya selalu dibenarkan? lalu bagaimana adab anak thd orang tua
dan orang tua thd anak?

Terimakasih atas keikhlasannya membagi ilmu.

Bentuk-Bentuk Berbuat Baik Kepada Kedua Orang Tua Adalah :

Pertama.
Bergaul dengan keduanya dengan cara yang baik. Di dalam hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam disebutkan bahwa memberikan kegembiraan kepada seorang mu'min termasuk shadaqah, lebih utama lagi kalau memberikan kegembiraan kepada kedua orang tua kita.

Kedua.
Yaitu berkata kepada keduanya dengan perkataan yang lemah lembut. Hendaknya dibedakan berbicara dengan kedua orang tua dan berbicara dengan anak, teman atau dengan yang lain. Berbicara dengan perkataan yang mulia kepada kedua orang tua, tidak boleh mengucapkan 'ah' apalagi mencemooh dan mencaci maki atau melaknat keduanya karena ini merupakan dosa besar dan bentuk kedurhakaan kepada orang tua. Jika hal ini sampai terjadi, wal iya 'udzubillah.

Ketiga.
Tawadlu (rendah diri). Tidak boleh kibir (sombong) apabila sudah meraih sukses atau mempunyai jabatan di dunia, karena sewaktu lahir kita berada dalam keadaan hina dan membutuhkan pertolongan. Kedua orang tualah yang menolong dengan memberi makan, minum, pakaian dan semuanya.

Keempat.
Yaitu memberikan infak (shadaqah) kepada kedua orang tua.
Semua harta kita adalah milik orang tua. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala surat Al-Baqarah ayat 215.

"Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka infakkan. Jawablah, "Harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapakmu, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Dan apa saja kebajikan yang kamu perbuat sesungguhnya Allah maha mengetahui"

Kelima.
Mendo'akan orang tua. Sebagaimana dalam ayat "Robbirhamhuma kamaa rabbayaani shagiiro" (Wahai Rabb-ku kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku diwaktu kecil). Seandainya orang tua belum mengikuti dakwah yang haq dan masih berbuat syirik serta bid'ah, kita harus tetap berlaku lemah lembut kepada keduanya. Dakwahkan kepada keduanya dengan perkataan yang lemah lembut sambil berdo'a di malam hari, ketika sedang shaum, di hari Jum'at dan di tempat-tempat dikabulkannya do'a agar ditunjuki dan dikembalikan ke jalan yang haq oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Bila orang tua menyuruh anaknya untuk menyelisihi syariat, maka tidak wajib dipatuhi, namun tetap harus menjaga adab.
"Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya ; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepadaKu-lah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepadaKu"[Luqman : 14-15]

http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=689&bagian=0


Minggu, 05 Oktober 2008

Manfaluthi sang Sufi

Mushtafa Luthfi al-Manfaluthi
7 September 2005 at 2:37 pm · under Profile, Sastra · Update: 2 Jan 2006
al-Sayyid Mushtafa Luthfi al-Manfaluthi dilahirkan di kota Manfaluth, salah satu kota di propinsi Asiyuth (Tempat lahirnya Imam al-Suyuthi), pada tahun 1876 M. Manfaluthi tumbuh dalam keluarga terhormat dan sudah turun temurun memegang jabatan Qadha Syariat dan Organisasi Shufiyah semenjak 200 tahun. al-Manfaluthi mengikuti jejak orang tua dan moyangnya dalam belajar dan menimba pengetahuan.

Dia mula-mula belajar di Kuttab kampung seperti tradisi-tradisi yang berjalan pada waktu itu di berbagai wilayah Mesir. Dia hafal al-Qur`an semuanya ketika usianya masih belum mencapai 11 tahun. Kemudian ayahnya mengirimkannya ke al-Azhar bersama beberapa orang temannya sekampung. Dan ketika itu dia mendapat kesempatan belajar di bawah bimbingan Syaikh M. Abduh.
Setelah Abduh meninggal dunia, al-Manfaluthi pulang kampung dan mengkhususkan waktu selama dua tahun untuk mempelajari kitab-kitab sastra klasik seperti karya-karya Ibnu al-Muqaffa’, al-Jahizh, al-Mutanabbi, dan Abu al-A’la al-Ma’arri, sampai mencapai kematangan intelektual dan mempunyai karakteristik tersendiri yang belandaskan perasaan dan kepekaan jiwanya.
al-Manfaluthi mempunyai berbagai karya sastra yang sangat banyak. Berbagai pendapat dan tanggapan bermunculan menyambutnya dan menjadi pusat perhatian dan penelitian. Semua itu sebagai bukti bahwa karya-karyanya tercipta dari sebuah kematangan dan merupakan ungkapan yang terlahir dari sebuah bakat yang murni. Karya-karyanya menjadi saksi kebesaran dan kemampuannya. al-Manfaluthi pada awalnya menerbitkan karya-karyanya sehingga sampai kepada khalayak lewat beberapa media massa lokal seperti majalah-majalah al-Fallah, al-Hilal, al-Jami’ah, al-Umdah, dan lain-lain. Kemudian secara perlahan dia menerbitkan karyanya lewat media terbesar saat itu, yaitu al-Muayyad.
Di al-Muayyad dia menulis secara rutin dalam judul Nazharaat (Renungan-renungan) yang kemudian dikompilasi menjadi buku dengan judul yang sama sebanyak tiga juz. Beberapa karyanya yang lain adalah, al-’Abarat, fi Sabilit Taj, al-Syair (Sang Penyair), Majdulin (Magdalena), al-Fadhilah, dan Mukhtarat al-Manfaluthi.
al-Manfaluthi bukanlah seorang penulis sejarah sastra dan tidak pernah menulis buku yang bersifat pengajaran atau pembudayaan. Sastranya berkisar seputar apa yang bisa kita sebut dengan al-Adab al-Infi’aly (sastra emosi/perasaan), impresif. Dan barangkali termasuk dalam sastra dzauqi (rasa).
Kalau Rifa’ah al-Thahtawi kita kenal sebagai pioneer terjemah di Mesir, al-Barudi sebagai keagungan sastra Arab dan mengembalikannya pada orisinalitasnya, maka Mushtafa al-Manfaluthi adalah pioneer penulisan prosa bebas yang melepaskannya dari ikatan-ikatan saja’ (kesajakan lafazh), Jinas, dan penghiasan kata-kata yang tidak perlu, dalam aliran sastra prosa konservatif.
Al-Manfaluthi wafat pada tahun 1924 M dan kematiannya diabadikan oleh Ahmad Syauqi dalam sebuah kasidah yang panjang.
http://www.aman.web.id/2005/09/07/mushtafa-luthfi-al-manfaluthi/338/